Minggu, 15 April 2018

MENGENAL R .M MARGONO DJOJOHADIKUSUMO

Cuaca yang cerah seakan merestui perjalanan napak tilas sejarah pada seorang tokoh besar di dunia perbankan. Meskipun sudah memasuki musim penghujan, tetapi awan mendung belum terlihat menutupi langit. Siang itu. Selasa, (17 November 2015) lalu. Dikomplek pemakaman R. Margono Djojohadikusumo yang dikenal sebagai founding Father Bank BNI 46 di daerah Dawuhan, Banyumas.
Kepada Pamor, dr. Soedarmaji Ketua yayasan Makam Dawuhan, menceritakan riwayat perjalanan R. Margono Djojohadikusumo. Putra daerah yang lahir di Purwokerto, 16 Mei 1894. Beliau merupakan orang tua dari Begawan Ekonomi Indonesia, Prof. Dr. Soemitro Djojohadikusumo yang tidak lain adalah ayah dari Prabowo Subianto.
R. Margono masih keturunan dari Raden Tumenggung Banyakwide atau lebih dikenal dengan sebutan Panglima Banyakwide. Seorang pengikut setia Pangeran Diponegoro, dan anak dari asisten Wedana Banyumas. Margono kecil bersekolah di Europeesche Lagere School (ELS) Banyumas. Sebuah Sekolah Dasar pada zaman kolonial Belanda, dari tahun 1900-1907 kemudian melanjutkan Sekolah Pamong Praja di Jakarta.
Atas mandat Sukarno-Hatta, beliau didampuk menjadi ketua pertama Dewan Pertimbangan Agung.
“Jadi pak Margono bukan ketua Dewan Pertimbangan Agung Sementara yang sering ditulis oleh artikel-artikel yang ada di internet atau buku sejarah. Melainkan Dewan Pertimbangan Agung tanpa kata (sementara), karena pada pengangkatan beliau kondisi sudah merdeka dan pemerintahan sudah terbentuk.” Tegas dr Soedarmaji.
R. Margono memulai langkah pertama sebagai ketua DPA dengan mengusulkan pembentukan Bank Sentral Indonesia untuk mengukuhkan kedaulatan Indonesia pada 17 Agustus 1945. Sekaligus untuk menyetabilkan perekonomian Indonesia yang pada saat itu masih dalam cengkraman pemerintah Hindia Belanda melalui De Javasche Bank atau yang saat ini berubah menjadi Bank Indonesia (BI).
Atas mandat Soekarno-Hatta akhirnya Bank Sentral (Bank sirkulasi) Negara Indonesia dibentuk pada tanggal 16 September 1945 dan melalui sidang dewan menteri pada 19 September 1945 memutuskan berdirinya Bank Sentral (BNI) sebagai bank sirkulasi melalui perpu nomor 2 tahun 1946 yang dikeluarkan pada 15 Juli 1946. Menunjuk RM. Margono Djojohadikusumo sebagai direktur utama Bank Sentral Negara Indonesia.
Pada perkembangannya Bank Sentral Negara Indonesia diberi kewenangan menerbitkan dan mengedarkan Oeang Republik Indonesia (ORI) untuk menggantikan uang Hindia Belanda, sebagai alat transaksi yang sah. Untuk mengukuhkan perekonomian Indonesia yang lemah akibat penjajahan Belanda, R. Margono Djojohadikusumo berinisiatif membuat kebijakan penggunaan devisa untuk memperoleh devisa melalui Bank Sirkulasi Negara Indonesia. Ide ini dia kemukakan pada sidang DPR dan disetujui melalui Hak angket DPR pada tahun 1951, hal ini juga menjadi sejarah digunakannya hak angket DPR untuk pertama kalinya.
“Bank  Sentral (Sirkulasi) Negara Indonesia didirikan pertama di Yogyakarta, karena pemerintahan pada waktu itu dipindah disana. Ada opsi untuk didirikan di Purwokerto, tapi karena tidak tersediannya gedung disini akhirnya dipilih didirikan di Yogyakarta.” Jelas dr. Soedarmaji, pemerhati Sejarah yang juga cucu dari dr. Anggoro Kasih yang lebih dikenal dengan sebutan dr. Angka yang merupakan salah satu pendiri Boedi Utomo.
Pada fase setelah agresi militer Belanda kedua, bank mengusulkan penunjukaan De Javasche Bank yang merupakan warisan dari Pemerintah Belanda sebagai Bank Sentral pada tahun 1949. Pemerintah membatasi peranan Bank Negara Indonesia sebagai bank sirkulasi atau bank sentral. Bank Negara Indonesia lalu ditetapkan sebagai bank pembangunan, dan kemudian diberikan hak untuk bertindak sebagai bank devisa.//Jarot.

Tidak ada komentar: