Senin, 23 Mei 2016

SABDA RAJA NYAYOGYAKARTA

 Keputusan Sri Sultan Hamengku Buwono (HB) X mengeluarkan Sabda Raja dan Dawuh Raja disesalkan kalangan keluarga Kraton Ngayogyakarta.

Cucu dari HB VIII, Kanjeng Raden Tumenggung (KRT) Jatiningrat yang menjabat sebagai Pengageng Tepas Dworo Puro (semacam Humas) Kraton mengungkap perjanjian Sri Sultan HB X sebelum jumenengan (naik takhta).

Menurut KRT Jatiningrat, ada lima perjanjian Sultan kepada HB IX sesaat sebelum diangkat menjadi Sultan HB X. Adapun Perjanjian tersebut,
 pertama; untuk tidak mempunyai prasangka iri dan dengki pada orang lain.

Kedua; untuk tetap merengkuh orang lain biar pun orang lain tersebut tidak senang.

Ketiga, untuk tidak melanggar paugeran negara;

Keempat; untuk lebih berani mengatakan yang benar itu benar dan yang salah itu salah.

Kelima; untuk tidak tidak punya ambisi apapun selain untuk menyejahterakan rakyat.
“Janji ini diucapkan Sultan sebelum jumenengan kepada almarhum HB IX,” kata KRT Jatiningrat.
Ia berharap Sultan tetap berpegang teguh pada paugeran Kraton. Pria yang akrab disapa Romo Tirun ini mengaku tidak paham dengan Sabda Raja yang diucapkan Sultan. 

Ia mengartikan inti dari Sabda Raja itu tidak lain adalah keinginan Sultan mengangkat Gusti Kanjeng Ratu Pembayun menjadi putri mahkota.

Sultan mengeluarkan Sabda Raja pada Kamis (30/4). Inti dari Sabda Raja itu adalah mengubah gelar. Kemudian pada Selasa (5/5) Mei, Sultan mengeluarkan Dawuh Raja yang intinya mengganti gelar putri sulungnya dari GKR Pembayun menjadi GKR Mangkubumi Hamemayu Hayuning Bawono Langgeng Ing Mataram.

Namun kerabat Kraton tidak sepakat dengan keputusan Sultan tersebut. Bahkan adik-adik Sultan menolak isi dari Sabda Raja tersebut karena menganggap sudah keluar dari Paugeran Kraton.

Keutuhan Keraton

Romo Tirun mengaku perbedaan pandangan antara Sultan dan para pangeran (Adik-adik Sultan) akan mempengaruhi keutuhan Kraton. Namun Romo Tirun merasa tidak berhak mencampuri urusan keluarga besar HB IX.

Romo Tirun berharap, polemik yang terjadi di internal Kraton tidak sampai mengganggu lembaga Kraton. 

Ia mengakui abdi dalem bertanya-tanya soal polemik tersebut, namun ia menekankan abdi dalem harus kembali pada pengabdian untuk lembaga Kraton dan menjaga kebudayaan para leluhur.

“Mohon maaf, abdi dalem bukan pakune Sultan, tapi abdi negara, hanya mengabdi pada lembaga tinggalane leluhur".

Soal perbedaan pandangan di antara Sultan dan para pangeran (Rayi Dalem), Romo Tirun mempersilahkan untuk diselesaikan dengan baik-baik. “Semua punya tanggung jawab dan ada risikonya masing-masing,” ujarnya.

Meski sudah ada perubahan gelar dawi Buwono menjadi Bawono, sampai saat ini semua proses administrasi di Kraton masih menggunakan nama Sri Sultan Hamengku Buwono. (Ujang Hasanudin/JIBI/Harian Jogja)

Sabtu, 21 Mei 2016

MAKNA SABAR DAN MENGELUH

Pada zaman dahulu ada seorang yang bernama Abul Hassan yang pergi haji di Baitul Haram. Diwaktu tawaf tiba-tiba ia melihat seorang wanita yang bersinar dan berseri wajahnya. "Demi Allah, belum pernah aku melihat wajah secantik dan secerah wanita itu,tidak lain kerana itu pasti kerana tidak pernah risau dan bersedih hati." Tiba-tiba wanita itu mendengar ucapan Abul Hassan lalu ia bertanya, "Apakah katamu hai saudaraku ? Demi Allah aku tetap terbelenggu oleh perasaan dukacita dan luka hati kerana risau, dan seorang pun yang menyekutuinya aku dalam hal ini." Abu Hassan bertanya, "Bagaimana hal yang merisaukanmu ?" Wanita itu menjawab, "Pada suatu hari ketika suamiku sedang menyembelih kambing korban, dan pada aku mempunyai dua orang anak yang sudah boleh bermain dan yang satu masih menyusu, dan ketika aku bangun untuk membuat makanan, tiba-tiba anakku yang agak besar berkata pada adiknya, "Hai adikku, sukakah aku tunjukkan padamu bagaimana ayah menyembelih kambing ?" Jawab adiknya, "Baiklah kalau begitu ?" Lalu disuruh adiknya baring dan disembelihkannya leher adiknya itu. Kemudian dia merasa ketakutan setelah melihat darah memancut keluar dan lari ke bukit yang mana di sana ia dimakan oleh serigala, lalu ayahnya pergi mencari anaknya itu sehingga mati kehausan dan ketika aku letakkan bayiku untuk keluar mencari suamiku, tiba-tiba bayiku merangkak menuju ke periuk yang berisi air panas, ditariknya periuk tersebut dan tumpahlah air panas terkena ke badannya habis melecur kulit badannya. Berita ini terdengar kepada anakku yang telah berkahwin dan tinggal di daerah lain, maka ia jatuh pengsan hingga sampai menuju ajalnya. Dan kini aku tinggal sebatang kara di antara mereka semua." Lalu Abul Hassan bertanya, "Bagaimanakah kesabaranmu menghadapi semua musibah yang sangat hebat itu ?" Wanita itu menjawab, "Tiada seorang pun yang dapat membedakan antara sabar dengan mengeluh melainkan ia menemukan di antara keduanya ada jalan yang berbeda. Adapun sabar dengan memperbaiki yang lahir, maka hal itu baik dan terpuji akibatnya. Dan adapun mengeluh, maka orangnya tidak mendapat ganti yakni sia-sia belaka." Demikianlah cerita di atas, satu cerita yang dapat dijadikan tauladan di mana kesabaran sangat digalakkan oleh agama dan harus dimiliki oleh setiap orang yang mengaku beriman kepada Allah dalam setiap terkena musibah dan dugaan dari Allah. Kerana itu Rasulullah s.a.w bersabda dalam firman Allah dalam sebuah hadith Qudsi,: " Tidak ada balasan bagi hamba-Ku yang Mukmin, jika Aku ambil keksaihnya dari ahli dunia kemudian ia sabar, melainkan syurga baginya." Begitu juga mengeluh. Perbuatan ini sangat dikutuk oleh agama dan hukumnya haram. Kerana itu Rasulullah s.a.w bersabda,: " Tiga macam daripada tanda kekafiran terhadap Allah, merobek baju, mengeluh dan menghina nasab orang." Dan sabdanya pula, " Mengeluh itu termasuk kebiasaan Jahiliyyah, dan orang yang mengeluh, jika ia mati sebelum taubat, maka Allah akan memotongnya bagi pakaian dari wap api neraka." (Riwayat oleh Imam Majah) Semoga kita dijadikan sebagai hamba Tuhan yang sabar dalam menghadapi segala musibah.

Ini Lohh.. !! Bukti Yesus itu Bukan Tuhan . Dr. Zakir Naik Membuktikanya...

Tidak Sesuai Akal Sehat.. PENGINJIL Ini PUN BINGUNG MENERANGKAN TRINITAS...

Selasa, 17 Mei 2016

ARTI MAKNA SEMBAYANG DAN SOLAT

PERBEZAAN ANTARA SEMBAHYANG DAN SOLAT

oleh ANITA MORAH ABAS


Topik ini pernah dibincangkan & dibahaskan di peringkat universiti, malah terdapat beberapa blog yg hanya potong & tampal isu sembahyang & solat tanpa membuat penerangan yg lebih jelas. Ia juga telah dibangkitkan dlm beberapa ceramah agama utk memperbetulkan tanggapan umum.  

Memang benar, topik yg dibawa berkisar dari segi permasalahan bahasa yg lebih menjurus kepada pengisian makna antara kedua2 perkataan tersebut.

Kita menyatakan perbezaan pendapat yg sewajarnya dikupas dgn cara berhemah & positif bukan meletakkan posisi kita dalam menghukum.

Jangan kita menganggap dgn membuat penilaian tersendiri maka kita telah menjatuh hukum bahawa perkataan “sembahyang” itu telah menyalahi akidah, tetapi dari segi perbuatan, ia sebenarnya tidak. Lalu, kita mengatakan penggunaan “solat” itu yg sebenar2nya mencerminkan penyerahan diri kita sebagai orang Islam terhadap Allah swt, sedangkan “sembahyang” itu membawa maksud lain, bertentangan dgn maksud “solat”.

Lantaran itu, ada yg menolak bulat2 penggunaan perkataan sembahyang dikatakan tidak tepat utk menggambarkan pengertian ibadah. Jadi di sini terdapat tiga pandangan yg berbeza – sembahyang adalah juga solat; sembahyang sewajarnya digunakan utk yg bukan Islam; solat sewajarnya digunakan utk orang Islam.

Kita jangan cepat menjatuh hukum, tanpa mengkaji sejarah yg mendasari maksud sembahyang & solat. Izinkan saya mengutip kembali penjelasan yg telah saya berikan di dalam posting Ustaz Yaacob Hamad.

Solat adalah kata serapan atau kata pinjaman drp bahasa Arab. Kalau kita terjemahkan ke dalam bahasa Melayu, solat membawa maksud sembahyang. Ringkasnya, solat adalah perkataan yg sama ertinya dgn sembahyang. Makna solat diterangkan dgn jelas dalam Kamus Dewan Edisi Empat/Kamus Pelajar, yg membawa pengertian istilah solat adalah sembahyang bagi umat Islam, manakala istilah sembahyang adalah solat bagi umat Islam dan memohon kepada Tuhan bagi bukan Islam (Kamus Pelajar/kamus Dewan Edisi Empat).

Ini bermakna anak2 kita telah didedahkan dgn maksud solat & sembahyang adalah perkataan yg boleh digunakan utk menggambarkan ibadah kita terhadap Allah swt.

Perkataan sembahyang ini juga boleh kita dapati di dalam terjemahan2 ayat2 Al Quran seperti berikut:

"Kemudian apabila kamu telah selesai mengerjakan sembahyang, maka hendaklah kamu menyebut dan mengingati Allah semasa kamu berdiri atau duduk, dan semasa kamu berbaring. Kemudian apabila kamu telah merasa tenteram (berada dalam keadaan aman) maka dirikanlah sembahyang itu (dengan sempurna sebagaimana biasa). Sesungguhnya sembahyang itu adalah satu ketetapan yang diwajibkan atas orang-orang yang beriman, yang tertentu waktunya" (Surah an-Nisa': 103).

Begitu juga kita hedaklah menyuruh kaum keluarga kita mengerjakan solat seperti Firman Allah dalam surah Toha ayat 132 yang bermaksud:

"Dan perintahkanlah keluargamu serta umatmu mengerjakan sembahyang, dan hendaklah engkau tekun bersabar menunaikannya. Kami tidak meminta rezeki kepadamu, (bahkan) Kamilah yang memberi rezeki kepadamu, dan (ingatlah!) kesudahan yang baik adalah bagi orang-orang yang bertakwa."
Terjemahan dua ayat alQuran di atas dipetik dari laman web Ustaz Nor Amin Sayani bin Zainal. Saya hanya memetik satu sahaja contoh utk dibuat perbandingan. Ringkasnya, perkataan “sembahyang” & “solat” digunakan secara bergandingan di dalam artikel agamanya berjudul Jom Solat (sila layari http://www.ustaznoramin.com/2010/03/jom-kongsi-hikmah-solat-untuk-kebaikan.html).

Perkataan atau istilah “solat” telah menarik perhatian dua tokoh Indonesia iaitu Profesor Hasbi As Siddiqi & Dr Daniel (tokoh bahasa) yg membahaskan dari segi hukum & kepenggunaannya. Kedua2 tokoh ini sependapat bahawa solat adalah lebih sesuai digunakan utk menggambarkan ibadah kita sebagai orang Islam ke hadrat Allah swt.

Bahasan mereka mempunyai asas yg kukuh dgn mengkaji asal usul makna perkataan “sembahyang” yg tidak sesuai digunakan oleh orang Islam bagaimanapun diterima pakai di dalam kamus DBP & perkataan yg membawa maksud sama erti bagi kedua2 makna tersebut terpakai dalam Kamus Pelajar iaitu yg dipakai & dipelajari oleh anak2 kita.

Maksud “sembahyang” menurut Profesor Hasbi As Siddiqi membawa pengertian yg terdapat unsur “syirik”. Ia adalah dua taupan dpd dua kata dasar yg berbeza iaitu “sembah” dan “Hyang”. “Hyang” atau lebih tepat lagi Sang Hyang Widhi adalah nama dewa Hindu agung, Tuhan Yang Maha Esa yg dikaitkan dgn konsep Brahman bagi penganut agama Hindu Bali yg telah wujud & disembah berabad2 lamanya (utk pengetahuan lebih lanjut tentang tuhan Hindu Bali ini sila layari http://id.wikipedia.org/wiki/Sang_Hyang_Widhi).

Yg dimaksudkan “syirik”, ditujukan kpd orang bukan Islam yg menggunakan perkataan sembahyang utk menggambarkan penyembahan mereka kpd tuhan mereka yg amat bertentangan dgn sembahyang & agama kita.

Ringkasnya, tafsiran kedua2 tokoh ini merumuskan bahawa perkataan sembahyang adalah lebih sesuai digunakan utk yg bukan Islam.

Mana datangnya perkataan “sembahyang” yg terpakai di dlm urusan kita sebagai orang Melayu Islam sehari2? Kita harus kembali kpd sejarah asal usul keturunan kita. Perkataan sembahyang muncul lama dahulu di dalam kamus hidup kita yg menjadi pegangan nenek moyang kita sebagai penganut agama Hindu sebelum kedatangan Islam.

Kalau kita buat sedikit penyelidikan, perkataan2 yg kita guna pakai sehari2 adalah campuran daripada beberapa bahasa & dialek seperti bahasa Sanskrit, Inggeris, Jawa, Arab, Belanda, dan beberapa bahasa lain. Perkataan yang diserap itu pula tidak semestinya terikat dengan maksud asal bahasa itu seperti perkataan “sembahyang”. Mungkin pada masa itu, tidak ada perkataan yg lebih sesuai utk menukar perkataan “sembahyang”. Jadi, perkataan “sembahyang” dikekalkan untuk menggambarkan kpd kita sebagai orang Islam, mengikut acuan kefahaman kita, ia adalah perbuatan ibadah kita menghadap Allah swt.

Kalau orang2 bukan Islam melakukan “syirik” dlm sembahyang mereka, janganlah pula menyamakan pengertian “sembahyang” dalam kamus hidup kita yg telah terpakai sekian lama. Dari segi istilah sahaja yg menimbulkan perbezaan pendapat.

Perkataan2 serapan atau dipinjam drp bahasa asing & diterima pakai penggunaannya dlm sesebuah masyarakat berlaku di mana2, termasuklah bahasa Inggeris.

Ada banyak kata serapan dari bahasa Sanskrit yang diterima ke dalam bahasa Melayu dan digunakan secara umum tanpa mengaitkan maksud asal bahasa tersebut. Antaranya perkataan “samudera” (Dewa Laut), “bayu” (Dewa Angin) & “suria” (Dewa Matahari). Kalau tidak silap saya termasuklah perkataan2 neraka, duka nestapa, dosa, pahala dan byk lagi. Serapan perkataan2 ini termasuk perkataan2 lain kenalah merujuk kpd pakar bahasa & DBP.

Berbalik kpd perkataan sembahyang, kalau kita merujuk kepada kamus DBP online perkataan sembayang dan solat adalah perkataan seerti. Kedua2nya adalah terpakai utk merujuk ibadah kita kpd Allah swt.

Bagaimanapun, jika masih lagi sangsi, ajukan keraguan yg timbul ini ke pihak DBP agar DBP dapat memperbetulkan makna “sembahyang” dan “solat” utk mengelakkan kekeliruan di antara pengertian sembahyang & solat & utk membezakan “sembahyang” digunakan utk bukan Islam dan “solat” kpd yg beragama Islam.

Berhati2lah apabila kita mengerah anak utk mengerjakan solat/sembahyang. Dikhuatiri mereka terkeliru dgn penggunaan istilah atau perkataan antara sembahyang dan solat kerana apa yg mereka pelajari di sekolah kedua2 perkataan itu adalah merujuk kepada perkara yg sama, perbuatan ibadah kita ke hadrat Allah taala. Gunakanlah budi bicara sebaik mungkin sebagai penerangan yg boleh mereka terima.

Tetapi janganlah pula kita naik angin atau marah pd orang yg masih menggunakan perkataan “sembahyang” yg dimaksudkan & membawa pengertian yg sama iaitu “solat”. Jelaskan dgn penuh diplomasi, anggaplah penerangan kita kpd yg kurang arif sebagai satu bentuk dakwah…

Persoalan di atas bukan untuk mempertahankan pendapat secara peribadi tetapi hanyalah pernyataan yg zahir daripada perbezaan pandangan yg dibincangkan secara bersama yg lebih menampakkan dari segi pengunaan istilah bahasa Arab & bahasa Melayu.

Ingatlah kita akan pesan Rasulullah, “Sampaikanlah ilmu walapun sebaris ayat.”


Jumat, 29 Januari 2016

Filosofi Semar yang Mengagumkan


Filosofi Semar yang Mengagumkan

Sebagai orang Jawa, tentu sudah tidak asing lagi dengan yang namanya wayang kulit. Karena wayang kulit ini sangat identik dengan kesenian dari Jawa. Pertunjukan wayang kulit biasanya dimainkan oleh dalang dan seringkali dipentaskan semalam suntuk. Lakon yang dimainkan pun juga bermacam-macam. Umumnya mengangkat kisah Mahabharata dan Ramayana.
Saya pribadi tidak begitu tahu dengan lakon dan tokoh-tokoh yang ada dalam pertunjukan wayang kulit. Kalaupun saya menonton wayang kulit, biasanya saat adegan “goro-goro” saja. Itupun juga terjadi ketika saya masih kecil, saat diajak oleh ayah saya.
Bagi saya adegan “goro-goro” sangat menarik karena banyak sekali pesan moral yang disampaikan oleh sang dalang lewat tokoh wayang yang dimainkan. Tokoh wayang yang selalu dijadikan sebagai sang penyampai pesan itu, tak lain dan tak bukan adalah Semar.
Semar merupakan nama tokoh punakawan atau abdi paling utama dalam pewayangan. Tokoh ini dikisahkan sebagai pengasuh sekaligus penasihat para kesatria dalam pementasan kisah-kisah Mahabharata dan Ramayana. Karena merupakan tokoh asli ciptaan pujangga Jawa, maka tentu saja kita tidak akan menemukan nama Semar dalam naskah asli Mahabharata ataupun Ramayana yang berbahasa Sansekerta.
Dalam lakon wayang kulit sebenarnya ada tokoh punakawan yang lain yang merupakan “anak-anak” dari Semar, yaitu Gareng, Petruk dan Bagong. Menurut salah satu literatur disebutkan bahwa sesungguhnya Gareng, Petruk dan Bagong bukanlah anak kandung Semar. Gareng sebenarnya adalah putra seorang pendeta yang dikutuk dan Semarlah yang telah berhasil membebaskan kutukan itu. Petruk sendiri sebenarnya adalah putra seorang raja bangsa Gandharwa. Sedangkan Bagong tercipta dari bayangan Semar berkat sabda sakti Resi Manumanasa, leluhur para Pandawa. Namun demikian hanya tokoh Semar saja yang selalu hadir di setiap lakon apapun. Baik itu dalam pewayangan Jawa Tengah, pewayangan Sunda, ataupun pewayangan Jawa Timuran. Sementara ketiga punakawan yang lain belum tentu ada.
Artinya tokoh Semar dianggap sebagai figur sentral dalam setiap pementasan wayang kulit karena merupakan sang penyampai pesan. Tentu saja gaya penyampaian pesan ala Semar tidaklah seserius tokoh wayang yang lain karena pada dasarnya Semar seringkali berbicara sambil bercanda. Nah, disinilah letak menariknya tokoh Semar bagi saya. Serius, tapi juga santai. Dengan cara “sersan” inilah mungkin diharapkan pesan moral lewat tokoh Semar, lebih mudah diterima dan dicerna oleh setiap penikmat pertunjukan wayang kulit.
Dalam kisah Mahabharata, Semar ditampilkan sebagai abdi atau pengasuh dari para Pandawa yang merupakan keturunan Resi Manumanasa. Sementara dalam kisah Ramayana, Semar juga ditampilkan sebagai abdi atau pengasuh Sri Rama dan Sugriwa. Sehingga boleh dikata tokoh Semar akan selalu muncul dalam setiap pementasan wayang kulit, tidak peduli apapun judul yang sedang dikisahkan. Dalam hal ini Semar tidak hanya berperan sebagai abdi atau pengikut saja, melainkan juga sebagai pelontar humor untuk mencairkan suasana yang tegang.
Dalam perkembangan selanjutnya, derajat Semar semakin meningkat lagi. Semar dikisahkan bukan sekadar rakyat jelata biasa, melainkan merupakan penjelmaan dari Batara Ismaya, kakak dari Batara Guru yang sekaligus juga merupakan raja para dewa. Memang ada beberapa versi tentang asal-usul dari tokoh Semar ini. Namun semua pada dasarnya menyebut bahwa tokoh ini merupakan penjelmaan dari dewa. Semar juga merupakan lurah yang berdomisili di KarangdempelKarang berarti gersang. Sedangkan dempel berarti keteguhan jiwa.
Kalau kita perhatikan, betapa banyak filosofi dari tokoh Semar ini yang sangat mengagumkan. Dalam filosofi Jawa, Semar disebut dengan Badranaya. Berasal dari kata bebadra yang artinya membangun sarana dari dasar dan naya atau nayaka yang berarti utusan. Maksudnya mengemban sifat membangun dan melaksanakan perintah Allah demi  kesejahteraan manusia. Secara Javanologi, Semar berarti haseming samar-samar. Sedangkan secara harafiah, Semar berarti sang penuntun makna kehidupan.
Secara fisik, Semar tidak laki-laki dan bukan pula perempuan. Ia berkelamin laki-laki, tetapi memiliki payudara seperti perempuan, yang merupakan simbol dari pria dan wanita. Tangan kanan Semar ke atas, maknanya bahwa sebagai pribadi tokoh semar hendak mengatakan simbol Sang Maha Tunggal. Sedang tangan kirinya ke belakang, bermakna berserah total dan mutlak serta sekaligus simbol keilmuan yang netral namun simpatik.
Semar berambut “kuncung” seperti anak-anak. Maknanya hendak mengatakan bahwa akuning sang kuncung, yaitu sebagai kepribadian pelayan. Semar sebagai pelayan melayani umat tanpa pamrih untuk melaksanakan ibadah amaliah sesuai dengan perintah Allah. Ketika barjalan, Semar selalu menghadap keatas. Maknanya adalah dalam perjalanan anak manusia perwujudannya ia memberikan teladan agar selalu memandang ke atas atau Tuhan Yang Maha Pengasih serta Penyayang umat.
Selain itu Semar juga selalu mengenakan kain jarik motif  Parangkusumorojo, yang merupakan perwujudan Dewonggowantah atau untuk menuntun manusia agar memayuhayuning bawono, yaitu menegakkan keadilan dan kebenaran di bumi.
Ciri fisik Semar yang sangat unik lainnya adalah bentuk tubuhnya yang bulat. Ini merupakan simbol dari bumi atau jagad raya, tempat tinggal umat manusia dan makhluk lainnya. Semar juga tampak selalu tersenyum, tapi matanya sembab. Ini menggambarkan simbol suka dan duka. Wajahnya tampak tua, tapi rambutnya berkuncung seperti anak kecil. Ini merupakan simbol tua dan muda. Ia merupakan penjelmaan dewa, tetapi hidup sebagai rakyat jelata. Ini merupakan simbol dari atasan dan bawahan.
Bagi saya Semar mempunyai banyak keistimewaan. Selain ciri-ciri fisik, keistimewaan Semar yang lain adalah tentang statusnya. Meskipun statusnya hanya sebagai abdi, namun keluhurannya disejajarkan dengan Prabu Kresna dalam kisah Mahabharata. Menurut versi aslinya, penasehat pihak Pandawa dalam perang Baratayuda adalah Kresna. Akan tetapi dalam pewayangan, penasehat Pandawa menjadi dua yaitu Kresna dan Semar.
Sering dikisahkan bahwa senjata Semar adalah kentut. Konon kentut Semar ini bisa membuat pusing para punggawa keraton yang tidak menjalankan tugasnya sesuai ketentuan yang berlaku. Dengan kata lain ada saja pejabat keraton yang melakukan tindakan melawan hukum yang merugikan masyarakat.
Sebagai penjelmaan dewa, Semar dikenal juga sangat arif dan bijaksana.  Bisa bergaul dengan siapa saja, baik  dengan kalangan atas maupun kalangan bawah. Selain itu juga tanggap terhadap perubahan jaman. Akan tetapi jika menemukan ketidakadilan dan tindakan sewenang-wenang, maka Semar akan dengan tegas  melakukan tindakan preventif, persuasif dan represif. Bisa dikatakan kalau Semar ini rela mempertaruhkan segalanya demi amanat yang diterimanya dari Sang Maha Kuasa.
Bila kita cermati ucapan Semar setiap kali mengawali dialog : “mbergegeg, ugeg-ugeg, hmel-hmel, sak dulito, langgeng…” Yang artinya diam, bergerak atau berusaha, makan, walaupun sedikit, abadi. Maksudnya dari ucapan Semar itu kira-kira begini, daripada diam (mbergegeg) lebih baik berusaha untuk lepas (ugeg-ugeg) dan mencari makan (hmel-hmel) walaupun hasilnya sedikit (sak ndulit) tapi akan terasa abadi (langgeng). Benar-benar sebuah pesan moral yang sangat dalam agar kita selalu bekerja keras untuk mencari nafkah, walaupun hasilnya hanya cukup untuk makan, namun kepuasan yang didapat karena berusaha tersebut akan abadi.
Semar seolah-olah tidak pernah mengenal kata sedih. Bila berbicaranya selalu spontan, tetapi mengandung kebenaran. Setiap bertutur selalu menghibur sehingga orang yang sedih menjadi gembira. Orang yang sedang susah bisa tertawa. Itulah sosok Semar yang selalu tumakninah, mengawal kebenaran dan hati nurani para Pandawa sebagai representasi tokoh dunia putih.
Semar merupakan gambaran perpaduan rakyat kecil sekaligus dewa kahyangan. Jadi, apabila para pemerintah, yang disimbolkan sebagai kaum kesatria asuhan Semar, mendengarkan suara rakyat kecil yang bagaikan suara Tuhan, maka bisa dipastikan negara yang dipimpinnya akan menjadi nagara yang unggul dan sentosa.
Sekarang coba kita perhatikan para pejabat di negara kita. Apakah mereka sudah benar-benar mengemban amanat rakyat? Apakah mereka berani mempertaruhkan segalanya demi kebenaran? Ah, sepertinya koq masih jauh dari angan-angan ya. Mungkin para pejabat di negara kita ini perlu kali ya belajar dari sosok Semar. Karena dengan memahami falsafah Jawa dan perilaku Semar tadi pasti akan diperoleh banyak manfaat bagi kehidupan di dunia ini. Dan yang pasti jika semua pejabat kita bisa mencontoh sosok Semar, niscaya negara kita akan menjadi negara yang makmur, gemah ripah loh jinawi
http://filsafat.kompasiana.com/2011/08/08/filosofi-semar-yang-mengagumkan-385732.h

Filosofi Semar yang Mengagumkan

Filosofi Semar yang Mengagumkan

Sebagai orang Jawa, tentu sudah tidak asing lagi dengan yang namanya wayang kulit. Karena wayang kulit ini sangat identik dengan kesenian dari Jawa. Pertunjukan wayang kulit biasanya dimainkan oleh dalang dan seringkali dipentaskan semalam suntuk. Lakon yang dimainkan pun juga bermacam-macam. Umumnya mengangkat kisah Mahabharata dan Ramayana.
Saya pribadi tidak begitu tahu dengan lakon dan tokoh-tokoh yang ada dalam pertunjukan wayang kulit. Kalaupun saya menonton wayang kulit, biasanya saat adegan “goro-goro” saja. Itupun juga terjadi ketika saya masih kecil, saat diajak oleh ayah saya.
Bagi saya adegan “goro-goro” sangat menarik karena banyak sekali pesan moral yang disampaikan oleh sang dalang lewat tokoh wayang yang dimainkan. Tokoh wayang yang selalu dijadikan sebagai sang penyampai pesan itu, tak lain dan tak bukan adalah Semar.
Semar merupakan nama tokoh punakawan atau abdi paling utama dalam pewayangan. Tokoh ini dikisahkan sebagai pengasuh sekaligus penasihat para kesatria dalam pementasan kisah-kisah Mahabharata dan Ramayana. Karena merupakan tokoh asli ciptaan pujangga Jawa, maka tentu saja kita tidak akan menemukan nama Semar dalam naskah asli Mahabharata ataupun Ramayana yang berbahasa Sansekerta.
Dalam lakon wayang kulit sebenarnya ada tokoh punakawan yang lain yang merupakan “anak-anak” dari Semar, yaitu Gareng, Petruk dan Bagong. Menurut salah satu literatur disebutkan bahwa sesungguhnya Gareng, Petruk dan Bagong bukanlah anak kandung Semar. Gareng sebenarnya adalah putra seorang pendeta yang dikutuk dan Semarlah yang telah berhasil membebaskan kutukan itu. Petruk sendiri sebenarnya adalah putra seorang raja bangsa Gandharwa. Sedangkan Bagong tercipta dari bayangan Semar berkat sabda sakti Resi Manumanasa, leluhur para Pandawa. Namun demikian hanya tokoh Semar saja yang selalu hadir di setiap lakon apapun. Baik itu dalam pewayangan Jawa Tengah, pewayangan Sunda, ataupun pewayangan Jawa Timuran. Sementara ketiga punakawan yang lain belum tentu ada.
Artinya tokoh Semar dianggap sebagai figur sentral dalam setiap pementasan wayang kulit karena merupakan sang penyampai pesan. Tentu saja gaya penyampaian pesan ala Semar tidaklah seserius tokoh wayang yang lain karena pada dasarnya Semar seringkali berbicara sambil bercanda. Nah, disinilah letak menariknya tokoh Semar bagi saya. Serius, tapi juga santai. Dengan cara “sersan” inilah mungkin diharapkan pesan moral lewat tokoh Semar, lebih mudah diterima dan dicerna oleh setiap penikmat pertunjukan wayang kulit.
Dalam kisah Mahabharata, Semar ditampilkan sebagai abdi atau pengasuh dari para Pandawa yang merupakan keturunan Resi Manumanasa. Sementara dalam kisah Ramayana, Semar juga ditampilkan sebagai abdi atau pengasuh Sri Rama dan Sugriwa. Sehingga boleh dikata tokoh Semar akan selalu muncul dalam setiap pementasan wayang kulit, tidak peduli apapun judul yang sedang dikisahkan. Dalam hal ini Semar tidak hanya berperan sebagai abdi atau pengikut saja, melainkan juga sebagai pelontar humor untuk mencairkan suasana yang tegang.
Dalam perkembangan selanjutnya, derajat Semar semakin meningkat lagi. Semar dikisahkan bukan sekadar rakyat jelata biasa, melainkan merupakan penjelmaan dari Batara Ismaya, kakak dari Batara Guru yang sekaligus juga merupakan raja para dewa. Memang ada beberapa versi tentang asal-usul dari tokoh Semar ini. Namun semua pada dasarnya menyebut bahwa tokoh ini merupakan penjelmaan dari dewa. Semar juga merupakan lurah yang berdomisili di KarangdempelKarang berarti gersang. Sedangkan dempel berarti keteguhan jiwa.
Kalau kita perhatikan, betapa banyak filosofi dari tokoh Semar ini yang sangat mengagumkan. Dalam filosofi Jawa, Semar disebut dengan Badranaya. Berasal dari kata bebadra yang artinya membangun sarana dari dasar dan naya atau nayaka yang berarti utusan. Maksudnya mengemban sifat membangun dan melaksanakan perintah Allah demi  kesejahteraan manusia. Secara Javanologi, Semar berarti haseming samar-samar. Sedangkan secara harafiah, Semar berarti sang penuntun makna kehidupan.
Secara fisik, Semar tidak laki-laki dan bukan pula perempuan. Ia berkelamin laki-laki, tetapi memiliki payudara seperti perempuan, yang merupakan simbol dari pria dan wanita. Tangan kanan Semar ke atas, maknanya bahwa sebagai pribadi tokoh semar hendak mengatakan simbol Sang Maha Tunggal. Sedang tangan kirinya ke belakang, bermakna berserah total dan mutlak serta sekaligus simbol keilmuan yang netral namun simpatik.
Semar berambut “kuncung” seperti anak-anak. Maknanya hendak mengatakan bahwa akuning sang kuncung, yaitu sebagai kepribadian pelayan. Semar sebagai pelayan melayani umat tanpa pamrih untuk melaksanakan ibadah amaliah sesuai dengan perintah Allah. Ketika barjalan, Semar selalu menghadap keatas. Maknanya adalah dalam perjalanan anak manusia perwujudannya ia memberikan teladan agar selalu memandang ke atas atau Tuhan Yang Maha Pengasih serta Penyayang umat.
Selain itu Semar juga selalu mengenakan kain jarik motif  Parangkusumorojo, yang merupakan perwujudan Dewonggowantah atau untuk menuntun manusia agar memayuhayuning bawono, yaitu menegakkan keadilan dan kebenaran di bumi.
Ciri fisik Semar yang sangat unik lainnya adalah bentuk tubuhnya yang bulat. Ini merupakan simbol dari bumi atau jagad raya, tempat tinggal umat manusia dan makhluk lainnya. Semar juga tampak selalu tersenyum, tapi matanya sembab. Ini menggambarkan simbol suka dan duka. Wajahnya tampak tua, tapi rambutnya berkuncung seperti anak kecil. Ini merupakan simbol tua dan muda. Ia merupakan penjelmaan dewa, tetapi hidup sebagai rakyat jelata. Ini merupakan simbol dari atasan dan bawahan.
Bagi saya Semar mempunyai banyak keistimewaan. Selain ciri-ciri fisik, keistimewaan Semar yang lain adalah tentang statusnya. Meskipun statusnya hanya sebagai abdi, namun keluhurannya disejajarkan dengan Prabu Kresna dalam kisah Mahabharata. Menurut versi aslinya, penasehat pihak Pandawa dalam perang Baratayuda adalah Kresna. Akan tetapi dalam pewayangan, penasehat Pandawa menjadi dua yaitu Kresna dan Semar.
Sering dikisahkan bahwa senjata Semar adalah kentut. Konon kentut Semar ini bisa membuat pusing para punggawa keraton yang tidak menjalankan tugasnya sesuai ketentuan yang berlaku. Dengan kata lain ada saja pejabat keraton yang melakukan tindakan melawan hukum yang merugikan masyarakat.
Sebagai penjelmaan dewa, Semar dikenal juga sangat arif dan bijaksana.  Bisa bergaul dengan siapa saja, baik  dengan kalangan atas maupun kalangan bawah. Selain itu juga tanggap terhadap perubahan jaman. Akan tetapi jika menemukan ketidakadilan dan tindakan sewenang-wenang, maka Semar akan dengan tegas  melakukan tindakan preventif, persuasif dan represif. Bisa dikatakan kalau Semar ini rela mempertaruhkan segalanya demi amanat yang diterimanya dari Sang Maha Kuasa.
Bila kita cermati ucapan Semar setiap kali mengawali dialog : “mbergegeg, ugeg-ugeg, hmel-hmel, sak dulito, langgeng…” Yang artinya diam, bergerak atau berusaha, makan, walaupun sedikit, abadi. Maksudnya dari ucapan Semar itu kira-kira begini, daripada diam (mbergegeg) lebih baik berusaha untuk lepas (ugeg-ugeg) dan mencari makan (hmel-hmel) walaupun hasilnya sedikit (sak ndulit) tapi akan terasa abadi (langgeng). Benar-benar sebuah pesan moral yang sangat dalam agar kita selalu bekerja keras untuk mencari nafkah, walaupun hasilnya hanya cukup untuk makan, namun kepuasan yang didapat karena berusaha tersebut akan abadi.
Semar seolah-olah tidak pernah mengenal kata sedih. Bila berbicaranya selalu spontan, tetapi mengandung kebenaran. Setiap bertutur selalu menghibur sehingga orang yang sedih menjadi gembira. Orang yang sedang susah bisa tertawa. Itulah sosok Semar yang selalu tumakninah, mengawal kebenaran dan hati nurani para Pandawa sebagai representasi tokoh dunia putih.
Semar merupakan gambaran perpaduan rakyat kecil sekaligus dewa kahyangan. Jadi, apabila para pemerintah, yang disimbolkan sebagai kaum kesatria asuhan Semar, mendengarkan suara rakyat kecil yang bagaikan suara Tuhan, maka bisa dipastikan negara yang dipimpinnya akan menjadi nagara yang unggul dan sentosa.
Sekarang coba kita perhatikan para pejabat di negara kita. Apakah mereka sudah benar-benar mengemban amanat rakyat? Apakah mereka berani mempertaruhkan segalanya demi kebenaran? Ah, sepertinya koq masih jauh dari angan-angan ya. Mungkin para pejabat di negara kita ini perlu kali ya belajar dari sosok Semar. Karena dengan memahami falsafah Jawa dan perilaku Semar tadi pasti akan diperoleh banyak manfaat bagi kehidupan di dunia ini. Dan yang pasti jika semua pejabat kita bisa mencontoh sosok Semar, niscaya negara kita akan menjadi negara yang makmur, gemah ripah loh jinawi
http://filsafat.kompasiana.com/2011/08/08/filosofi-semar-yang-mengagumkan-385732.html.

SHARE THIS POST   
- See more at: http://ketikajomblobertasbih.blogspot.co.id/2014/01/filosofi-semar.html#sthash.jISuKbTN.dpuf